Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Pendiri media warta-gereja.com
Warta-gereja.com – Jakarta, Secara etimologis, kata Oikumene atau Ecumene berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni oikos yang bermakna “rumah” serta monos yang artinya “satu”. Istilah ini disederhanakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi satu rumah. Lebih jauh lagi, Oikumene diartikan sebagai gerakan “satu rumah”, menyiratkan bahwa seluruh umat kristiani di berbagai belahan dunia sejatinya hidup berdampingan dalam satu rumah yang sama, yaitu rumah Tuhan.
Menjunjung tinggi uniformitas serta kesatuan dan persatuan antarumat kristiani merupakan salah satu prinsip utama yang dihadirkan oleh Oikumene. Gerakan ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno sebagai bentuk tanggapan dari kekuasaan Kaisar Romawi.
Istilah oikumene sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno dalam cakupan pemerintahan Kekaisaran Romawi. Pada masa itu, kata oikumene merujuk pada dunia yang dianggap sebagai wilayah kekuasaan Katolik Roma. Namun, munculnya berbagai konflik yang memecah gereja-gereja Katolik membuat istilah ini mengalami pergeseran makna.
Salah satu insiden perpecahan gereja yang menjadi cikal-bakal terbentuknya gerakan Oikumene terjadi pada tahun 325 M. Saat itu, pengikut Arius dinyatakan sesat oleh konsili Nicea I sehingga banyak pengikutnya yang dikejar-kejar dan dibunuh secara massal. Peristiwa serupa kembali terjadi beberapa abad kemudian, tepatnya di tahun 1054. Pengakuan iman Nicea memecah gereja Katolik Roma dengan gereja Ortodoks Timur dan menimbulkan pertikaian sengit di antara dua kubu yang berseteru.
Dengan banyaknya perpecahan yang terjadi, gereja-gereja di seluruh dunia melakukan perundingan untuk menyatukan semua persekutuan gereja bagi umat kristiani. Perundingan ini didasarkan pada doa Tuhan Yesus dalam Yohanes 17: 20-21:
“Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”
Di masa modern seperti sekarang, Oikumene menjadi suatu persekutuan bersifat interdenominasi yang berusaha menyatukan seluruh umat kristiani dari berbagai gereja berbeda untuk bisa mencapai satu tujuan yang sama.
Jadi, dapat disimpulkan jika gerakan Oikumene adalah perwujudan doa dan harapan Tuhan Yesus sendiri. Gerakan ini sebenarnya sudah ada sejak lama di Eropa, tetapi hanya beberapa gereja yang ikut serta pada masa-masa awal. Baru pada akhir abad ke-19 serta awal abad ke-20, Oikumene mulai menyebar ke berbagai belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia.
Tujuan Utama Gerakan Oikumene
Oikumene merupakan gerakan yang bercita-cita untuk mempersatukan gereja-gereja Kristen di dunia. Dengan kesatuan gereja sebagai visi utamanya, gerakan Oikumene berharap dapat menciptakan gereja Kristen esa yang seluruh anggotanya tertuju pada satu arah dan tujuan yang sama, yakni iman dan kepercayaan terhadap Tuhan.
Saat visi ini berhasil dicapai, umat kristiani di seluruh dunia akan memiliki kekuatan lebih besar untuk bisa menjalankan fungsi gereja sepenuhnya yang terdiri dari koinonia (persekutuan), diakonia (pelayanan kasih), dan marturia (kesaksian). Persatuan umat yang kokoh juga dianggap sebagai salah satu bentuk pengabdian tertinggi kepada Tuhan karena sesuai dengan doa Yesus Kristus yang tertuang dalam Yohanes ayat 20-21.
Perkembangan Gerakan Oikumene Saat Ini
Sejak menjadi gerakan persekutuan gereja di awal abad ke-20, Oikumene terus melakukan berbagai upaya untuk dapat meningkatkan kesatuan dan persatuan antarumat kristiani di seluruh dunia. Gerakan ini bersifat interdenominasi sehingga merangkul seluruh gereja dan lembaga Kristen di bawah keyakinan bahwa Tuhan memperlakukan umat kristiani sebagai satu umat yang sama, tanpa kecuali.
Meski tidak semua kelompok Kristen memproklamasikan diri sebagai anggota gerakan Oikumene, gerakan ini tetap berperan sebagai agen negosiasi di antara beragam denominasi gereja di berbagai belahan dunia. Pertimbangannya juga kerap digunakan oleh organisasi interdominasi dunia seperti World Council of Churches saat menentukan hukum-hukum spesifik dalam kepercayaan agama Kristen, termasuk pembaptisan, ekaristi, dan kependetaan.
Hubungan Gerakan Oikumene dan Media Warta Gereja
Media online Warta Gereja lahir dari respon positif terhadap fenomena pergeseran paradigma dalam masyarakat analog menuju (transform) masyarakat digital akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat.
Teknologi Informasi yang terus bergerak sangat cepat tentu saja membuat situasi masyarakat menjadi disruptif dalam era digital.
Era digital adalah sebuah keniscayaan. Kini manusia tak dapat lagi menolaknya atau melawannya. Ini sebuah fenomena kehidupan modern yang merupakan bagian yang tak bisa lagi dipisahkan dari kehidupan setiap orang maupun lembaga. Bahkan dalam banyak hal era digital ini mempengaruhi kehidupan manusia saat ini. Termasuk juga mempengaruhi gereja.
Kemajuan teknologi digital saat ini telah membawa manusia dalam sebuah dunia yang baru, sebuah dunia yang tak bisa lagi dilepaskan dari perangkat elektronik yang tak bisa lagi kita hindari. Kini kita berada dalam gelombang era digital.
Perkembangan tekonologi digital adalah realitas yang tak terhindari oleh siapa pun atau institusi mana saja yang hidup dalam konteks globalisasi dan masyarakat berjejaring (network society). Mau tidak mau, suka tidak suka, kita telah berada dalam gelombang era digital.
Namun di balik eforianya, era digital juga berdampak negatif yang bisa merugikan orang, institusi, negara, bisnis dan seterusnya. Di tingkat individu sekurangnya tekonologi digital mendorong orang semakin lebih sedikit bergerak, malas, serba instan, kurang menghargai proses dan perjuangan, terutama bagi generasi Y selaku digital native.
Fenomena ponsel mendekatkan yang jauh tetapi sekaligus menjauhkan yang dekat merebak di mana-mana. Dampak negatif lain adalah kecanduan. Ada semacam phobia yang dinamakan nomophobia, yakni ketakutan bila ponsel ketinggalan. Belum lagi hiruk-pikuk berupa sampah informasi (hoax, kampanye hitam, ujaran kebencian, pornografi, dst) di media daring dan media sosial.
Media sosial juga mengubah gaya hidup manusia saat ini. Pemilik akun media sosial senantiasa update dan berbagi informasi setiap saatnya, meskipun sumber informasi tersebut belum tentu benar. Lewat media sosial kita saling berbagi apa pun, mencari teman, yang juga belum tentu sosok yang sesungguhnya. Bagaimana gereja di tengah pusaran era digital ini?
Sebagai pegiat Media (PERS) dan Komunikasi, Saya berpendapat bahwa Gereja saat ini harus menterjemahkan ulang misiologinya dalam merespon pergeseran paradigma dari gereja analog menuju ke gereja digital.
Perkembangan kehidupan gereja di era digital harus ditanggapi secara serius dan perlu pendampingan yang konkrit.
Supaya warga gereja memahami apa itu dunia online, bagaimana mereka harus bersikap dan mengambil tindakan yang tepat dalam derasnya arus informasi yang setiap detik menerpa kehidupannya, Saya membuat beberapa website dengan judul WARTA GEREJA.
Media Warta Gereja diharapkan dapat menjadi alat pemicu (trigger) bagi warga gereja untuk belajar memahami dan membaca informasi di mediaonline maupun media sosial.
Saya menawarkan diri untuk melatih dan mengembangkan Sumber Daya Manusia pada setiap GEREJA apapun DENOMINASI nya untuk dapat belajar menulis sesuai dengan kaidah Kode Etik Jurnalistik. Sehingga diharapkan akan lahir Generasi yang familiar dengan informasi yang beredar di dunia digital, yang pada gilirannya akan mampu mengkonsumsi informasi informasi yang sehat dan bergizi bagi jiwanya.
Media online Warta Gereja dapat menjadi saluran bagi para warga jemaat untuk memahami dunia informasi melalui kegiatan kegiatan membuat laporan dan berita pada media online yang kami siapkan.
Sekecil apapun upaya yang kita lakukan semoga dapat membantu memberikan mercusuar, mendjadi pedoman arah bagi warga gereja memasuki Era Digital dan Media Online.
(Mas Dharma EL)